Sejarah berdirinya Desa Jambangan di Gorang Gareng

Sejarah desa masih menarik minat sejarawan karena hampir semua peristiwa sejarah berawal atau terjadi didaerah pedesaan. Desa sebagai kesatuan teritorial dan administratif yang terkecil di Indonesia, memiliki karakter tersendiri disebabkan masing-masing desa atau daerah terben- tuk melalui proses sejarah yang panjang dan berbeda-beda, demikian halnya dengan Desa Jambangan.

Desa Jambangan merupakan sebuah desa yang masuk di wilayah Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan Jawa Timur. Berbatasan dengan Desa Bogem disebelah timur, Desa Ngadirejo disebelah utara, Desa Selorejo disebelah barat dan Desa Mangunrejo disebelah selatan. Desa ini dibelah oleh Sungai Bringin yang membagi wilayah Jambangan menjadi dua yaitu lor kali dan kidul kali. Daerah lor kali sebagian besar wilayahnya digunakan untuk pemukiman warga sedangkan wilayah kidul kali digunakan untuk lahan pertanian. Dimana di wilayah kidul kali ini ditemukan beberapa peninggalan benda arkeologis.

Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui asal-usul tentang Desa Jambangan dari sejarah maupun cerita rakyat, mitos, legenda yang membahas tentang Desa Jambangan. Termasuk nama- nama dan pengertian arti kata dari masing-masing dukuh/dusun yang ada didalamnya juga nama-nama Lurah/Kepala Desa Jambangan dari masa ke masa.

Apabila masyarakat tidak mengenal dan tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri maka dapat dipastikan beberapa tahun kedepan masyarakat akan tenggelam ditelan sejarah kelam masuknya sejarah dan budaya asing dan masyarakat akan kehilangan jati dirinya serta tidak akan pernah tahu bagaimana yang sebenarnya tentang sejarah daerahnya sendiri.

Babad Desa Jambangan ini dikemas secara sederhana mudah untuk dipahami dan dimengerti dengan harapan dapat membuka tabir rahasia dari Desa Jambangan. Sehingga kemudian dapat disumbangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak dilupakan oleh generasi mendatang.


Oleh karena keterbatasan data sejarah maka pada tulisan ini didasarkan pada cerita dari mulut ke mulut, berupa legenda, dongeng dan mitos yang oleh orang Barat dikatakan tidak riil, penuh dengan kegaiban, fantasi dan spekulasi. Meskipun demikian penulis akan mencoba mengelaborasikan dengan catatan sejarah besar yang terjadi pada rentang waku yang di wilayah Magetan. Sesuai dengan pendapat Sartono Kartodirdjo (1996), bahwa untuk mengatasi kesukaran pengungkapan sejarah yang bercampur fantasi dan spekulasi maka pendekatan multidimensional ini akan diperoleh data-data yang obyektif dan terhindar dari data-data yang subyektif.

Asal Kata Jambangan

Berdasarkan penuturan beberapa sesepuh atau tokoh masyarakat desa kata “jambangan” berasal dari kata jambangan yang merupakan salah satu jenis gerabah yang berbentuk gentong besar. Hal ini disebabkan karena pada jaman dahulu terdapat banyak jambangan yang dimiliki oleh penduduk yang digunakan untuk mencuci benang dalam proses pewarnaan yang ditempatkan di halaman rumah. Hampir semua penduduk terutama ibu-ibu kala itu menjadi pengrajin benang dan pewarna kain alami. Karena saking banyaknya pengrajin maka sering didatangi mayarakat di luar Jambangan untuk melihat proses pem- buatannya dan membelinya, maka sejak saat itu untuk menandai hal tersebut diabadikan menjadi tetenger (penanda) untuk menjadi nama desa yaitu Desa Jambangan.

Keterampilan memintal benang, menenun kain, dan mewarnai kain diturunkan dari sorang tokoh yang bernama Nyi Palupi. Beliau adalah istri dari Ki Yudonegoro orang pertama yang membuka pemukiman di tepi selatan Sungai Bringin. Karena kegemarannya tersebut Nyi Palupi mengajarkannya pada penduduk yang datang bermukim untuk menambah pendapatan keluarga.

Punden Blumbang Kidul kali, Lokasi yang diindikasikan sebagai tempat tinggal Ki Yudonegoro

Tokoh Tokoh Pendiri Desa

1. Yudonegoro

Ki Yudonegoro menurut sesepuh desa merupakan bekas prajurit Pangeran Diponegoro yang ikut dalam Perang Jawa pada tahun 1825- 1830. Ki Yudonegoro diceritakan datang dan membuka pemukiman di tepi selatan Sungai Bringin yang sekarang masuk wilayah RT 08. Bahwa beliau diceritakan bekas prajurit Pangeran Diponegoro hal ini sesuai dengan sejarah bahwa daerah manca negara timur (Brang Wetan) yaitu residen Madiun dan Kediri dan Magetan termasuk dalam Karesidenan Madiun. Magetan sebagai bagian dari wilayah mancanegara timur Yogyakarta tidak bisa terlepas dari terjadinya perang ini. Ketika pasukan Diponegoro yang dipimpin Kertodirdjo berada di wilayah Jogorogo (sekarang wilayah Ngawi bagian barat) diserang oleh Belanda pada awal bulan November 1825, mereka mampu meloloskan diri ke arah selatan menuju wilayah Magetan (Soetarjono, 1975). Istilah mancanegara dalam sistem pembagian wilayah dalam kesultanan Yogyakarta telah ada sebagai warisan dari sistem pada kerajaan Mataram yang merupakan asal sejarah terbentuknya kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta (Sartono, 1976).

Pasca berakhirnya Perang Jawa dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro, banyak para panglima perang, pengikut, dan prajurit perang yang terdiri dari berbagai latar belakang dan golongan berusaha me- loloskan diri dari kejaran Belanda. Demikian juga para pemuka-pemuka pasukan yang berasal dari golongan ulama, kyai, dan juga santri. Mereka berusaha menghindari kejaran Belanda dengan masuk ke wilayah-wi- layah yang lebih pedalaman, masuk hutan dan menjauh dari pusat-pusat kota yang telah diduduki oleh Belanda (Nurhadi, 2018).

2. Mbah Dherpo

Sama seperti Ki Yudonegoro, Mbah Dherpo juga seseorang yang merupakan tokoh mengembangkan wilayah berdirinya Desa Jambangan. Bedanya, beliau mengembangkan di bagian utara sungai Bringin. Menurut penuturan sesepuh desa beliau juga termasuk pengikut Pangeran Diponegoro. Kedatangan beliau di desa Jambangan setelah ki Yudonegoro.

Situs-Situs Bersejarah di Desa Jambangan

Beberapa situs arkeologi yang tersebar di wilayah Desa Jambangan, menurut komunitas sejarah Wukir Mahendra. Peninggalan-peninggalan tersebut merupakan peninggalan pada masa raja Kerajaan Medang yang terakhir, Raja Dharmawangsa Teguh yang berkedudukan di Wwatan, sekarang Madiun.

Terdapat 3 Lingga dan 1 yoni yang tersebar di pesawahan Desa Jambangan. Menurut Berata, 1994. Lingga-yoni merupakan penggambaran wujud visual, dengan bentuk yang bervariasi sesuai dengan landasan konsepsinya namun pada hakekatnya merupakan sebuah simbol.

Simbol atau lambang adalah tanda-tanda yang dibuat oleh manusia yang dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sejalan dengan pengertian tersebut, Soebadio mengungkapkan bahwa lingga-yoni merupakan simbol dari Siwa. Fungsi Lingga dalam agama hindu adalah sebagai media untuk memohon kesuburan pertanian kepada Tuhan (Wiana, 1993). Dengan adanya Lingga dan Yoni tersebut menunjukan bahwa di wilayah Jambangan sudah terdapat peradaban sejak masa Hindu. Namun sayangnya dengan tidak adanya sumber sejarah maka tidak bisa melacak sampai masa tersebut.

Selain Lingga dan Yoni terdapat pula situs yang diduga makara candi. Batu ini menurut beberapa warga dahulu terdapat sepasang, namun kini hanya tersisa satu saja. Terdapat pula batu bata berukuran besar yang beserakan disekitar lingga yoni. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang benda bersejarah banyak artefak-artefak yang rusak untuk pematang sawah.

Semua situs ini berada di selatan sungai, dimana wilayah ini merupakan daerah yang subur dan hingga saat inipun tetap menjadi daerah pertanian yang menopang kehidupan masyarakat Desa Jambangan.

Punden Kidul Kali

Menurut para narasumber lokasi punden ini merupakan cikal bakal Desa Jambangan berdiri. Punden ini berada di tepian Sungai Bringin yang sekarang masuk RT wilayah 08 Kidul Kali. Ki Yudo Negoro konon menetap disekitar sini bersama istrinya Nyi Palupi. Mereka berdualah yang menata kehidupan di Desa Jambangan.

Punden Makam Mbah Derpo

Mbah Derpo menurut para narasumber hidup semasa dengan Ki Yudo Negoro yang merupakan tokoh masyarakat yang membangun peradaban baru di wilayah ini. Beliau menurut beberapa penuturan juga bekas pengikut Pangeran Diponegoro.

Punden Kedung Dagi

Punden Kedung Ndagi sejak zaman dahulu sudah digunakan oleh masyarakat untuk berdoa bersama ataun upacara adat. Mereka mendoakan para leluhur desa yang sudah meninggal dan memohon agar kehidupan warga desa selalu aman dan tenteram serta jauh dari segala mara bahaya.

TRADISI YANG DILESTARIKAN DI DESA JAMBANGAN

Setiap memasuki Bulan Sura Pemerintah Desa Jambangan selalu mengadakan bersih desa yang diadakan di setiap punden. Waktu pelaksanaan acara tersebut dipilih pada Hari Jumat dengan Asaran yang dipilih adalah hari Jumat Legi. Bersih Desa biasa dilakukan waktu pasaran sesuai dengan pilihan kepala desa, namun umumnya setelah sholat Jumat selesai.

Acara Bersih Desa diawali dengan melakukan slametan (doa bersama) yang dimulai di Punden Blumbang Kidul Kali. Acara doa bersama rsebut dihadiri oleh warga RT07, RT08, dan RT 09. Warga berbondong- bondong ke punden dengan membawa tumpeng dan panggang yang dilengkapi dengan beberapa lauk dan sayur lainnya atau yang biasa di- sebut “Nasi Rasulan”. Setelah selesai doa bersama, acara dilanjutkan dengan langen beksan (tari gambyong) oleh beberapa waranggono di tepian Bluumbang (kolam air).

Acara doa bersama berikutnya dilaksanakan di punden makam Mbah Derpo. Dihadiri oleh warga RT 06, RT 07, dan RT 09.  Yang terakhir dilakukan di punden Kedung Dagi. Disini semua warga desa berkumpul untuk doa bersama dan dilajutkan dengan kegiatan langen beksan. Bisa dikatakan acara puncak bersih desa dilakukan di Punden Kedung Dagi ini. Berbeda dengan acara kesenian di punden lain yang hanya sebentar, disini kegiatan kesenian dilakukan hingga menjelang Magrib. Para penari diiringi dengan musik gamelan lengkap yang dimainkan oleh para niyaga.

Salam Rahayu…Rahayu…..Rahayu….

oleh : Yani dan Sigit T

Bagikan manfaat ...

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *